00.30
Disini terang. Jauh lebih terang daripada di dalam. Nggak ngaruh berapa lampu yang saya nyalakan, di dalam tetap gelap. Atau paling tidak, remang. Terlalu remang. Remang tentang masa lalu yang belum bisa terhembus. Disini, secangkir teh ini, dercik air ini, udara malam ini, setidaknya membuat saya sedikit lebih sibuk. Disini, untaian daun ini, setidaknya cukup untuk membuat saya berpikir tentang hal tak hirau yang melelahkan. Pengalih perhatian temporal yang memang tidak pernah punya efek permanen, sekuat apapun dosisnya. Disini, saya tidak perlu melihat benda yang menjadi saksi atas masa lalu yang tidak menyenangkan, walau harus diakui, saya dapat tersenyum dan tertawa ikhlas saat itu. Bukan topeng seperti saat ini.
Disini, tiga tahun yang lalu, saya menangis, bersujud, sendiri, saat semua orang saling bersua, atas hal yang tidak perlu. Tiga tahun yang lalu, saya menelisik kedalam kepala. Memaksa nadi, darah, dan otot untuk berjalan, walau kenyataannya, seekor nyamuk pun iba untuk mendekat. Semua karena saya punya mimpi. Saya punya harapan. Saya punya keinginan. Saya punya ALASAN. Dulu tak ada derungan mesin yang melaju diatas roda. Dulu tak ada irama dari kawat di telinga. Dulu tak ada yang ada sekarang. Tapi dulu ada semangat dan keinginan yang didasari ALASAN. PENDIDIKAN.
Disini, tiga tahun yang lalu, saya berdebar, merana, mengilu. Mencairkan rasa yang telah tertanam tiga tahun sebelumnya. Bodoh mungkin. Tidak, pengecut, seperti selalu. Tidak pernah bergerak, takut akan gagal, takut akan ketidak mampuan, atau ketidak cukupan. Bahkan untuk dia yang selalu melelahkan. Dengan pesona. Dengan kata. Dengan deru nafas yang terasa dibawah sadar. Bahkan untuk dia yang acapkali merenggut mimpi buruk dan menebar indah di bawah sadar. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Pun, bukan waktu yang cukup lama untuk bukti. Begitu pula enam tahun. Demikian, tak banyak yang berubah. Kecuali restriksi atas dia. Atas apa yang saya mau.
Cangkir ini sudah dingin. Seperti kaki, jari, dan mata ini. Seperti lidah ini. Yang tak pernah tau apa yang harus dikatakan pada saat seperti apa. Mungkin sudah waktunya melupakan harapan kosong yang memang tak mungkin tercapai. Walau manisnya pernah tercicip, meneguk adalah khayalan. Mungkin enam tahun ini adalah waktu untuk berlalu. Namun jika memang enam tahun telah terlalu, mengapa tak dua belas atau delapan belas? Jika memang harus, mengapa tak enam puluh?
Bukan waktu yang tak mungkin. Tapi apa yang tegores, apa yang terpatri, sebagai bagian sejarah yang, mungkin, tidak akan dikenang, bahkan oleh pelaku dan saksi, membuat jarum detik di kamar saya tidak bergerak seperti jarum detik di luar. Bukan waktu yang tidak mungkin. Tapi debar, deru, dan ungu sang pelakon, yang lupa akan dalang, yang selalu menulis naskah sempurna, melumatkan tiap segmen baginya tanpa alur, mengacaukan konstelasi dan konfigurasi naskah yang semestinya. Mungkin.
Jikapun waktu dapat mengntar saya kambali, mungkin saya sendiri yang tidak bisa memenuhi janji pada waktu. Tidak dengan tubuh saya yang saling menggerogoti. Tidak dengan darah ini yang perlahan menetes, kedalam, hancur lalu menyisakan nanah disana. Bukan sombong, toh, bukan saya yang tau kapan buku ini akan ditutup, tetapi seorang penulis akan tahu jika bukunya telah tipis. Dan saya akan tau jika saatnya akan datang. Untuk menghembus, mengikhlas.
Mungkin.
02.30
Dia bukan malaikat.
Dia bukan bidadari.
Dia hanya manusia.
Ciptaan paling sempurna yang pernah ada.
Maha karya yang membuat saya bertekuk lutut.
Bintang timur yang akan selalu membawa saya pulang.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar